Selasa, 19 Maret 2013

Tulang rusuk adam

Tulang rusuk Adam yang hilang,biarlah dia yang mencarinya sendiri.
Hawa pula,TUNGGU & BERSABAR,tak perlulah kamu yang mencari Adam.
Kerana kamu tetap Tulang Rusuknya yang Hilang,dia akan datang Mencari & Mengambilmu satu hari nanti.
Apa yang boleh kamu usahakan Hawa ialah berDOA berusaha agar Adam yang datang itu adalah Adam yang berAGAMA,berAMAL dengan agamanya dan punya AKHLAK yang BAIK.
Dengan kata lain dapat Membimbing kamu ke Jalan yang Lurus untuk ke Syurga-NYA

Kamis, 08 September 2011

nia

Cinta Kasih Dalam Kesempurnaan Cinta

“Mencintai apa yang dicintai oleh kekasih adalah kesempurnaan cinta kepada sang kekasih”... (Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah) Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittibaâ) dan ketaatan. Sebagaimana firman-Nya, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu"(Qs.3:31-32). Salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah, mencintai dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada mereka (Qs.5:8). Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim. Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW. bersabda, "Hakikat seorang Muslim adalah, mencintai Allah dan Rasul-nya, sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri" (HR. Imam Bukhari). Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan (al-Hadits). Mencintai Tuhan pada dasarnya adalah mencintai manusia, mari menyitir kisah seorang sufi, Abu Ben Adhim. Suatu malam, Abu Ben Adhim terbangun dari mimpinya yang indah. Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuatnya berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, “Apa yang sedang kamu tulis?” Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, “Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan.” “Adakah namaku di situ?” kata Abu. “Tidak. Tidak ada,” jawab malaikat. Abu berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, “Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia.” Malaikat menulis dan menghilang. Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abu Ben Adhim diatas semua nama. Abu Ben Adhim mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan. Baik Abu Ben Adhim maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba-Nya. Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan kepada-Ku.” Ia berkata kepada yang lainnya, “Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum.” Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, “Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku.” Ketika hamba-hamba-Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, “Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya.” (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah). Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf, bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya. Yang mo share n copas, silahkan aja tuk syiar Islam....

Rabu, 27 Juli 2011

Harmonis dengan canda

"Mas, itu ada tukang bakso lewat!" ujar seorang istri pada suaminya. "Stttt... biarkan Dik, dia kan sedang usaha. Jangan diganggu!"

Mendengar ucapan suaminya tentu saja sang istri merasa gemas lalu mengejar sang suami yang ingin dicubitnya. Si suami tentu saja senang berhasil mencandai istrinya. Meski agak dongkol sang istri pun tertawa-tawa cukup lama.

Apakah anda senang bercanda dengan pasangan Anda, atau apakah pasangan anda senang menajak bercanda? Kalau jawabannya jarang atau bahkan tidak, berhati-hatilah. Beberapa tes untuk mengukur sejauh mana keharmonisan suatu hubungan pernikahan senantiasa menjadikan "ada tidaknya canda" sebagai salah satu parameter. Kurangnya canda dan gurauan di antara suami istri bisa menunjukkan kurang harmonisnya kehidupan rumah tangga.

Setiap orang tentu menginginkan hubungan pernikahannya harmonis hingga akhir hayat. Namun tak setiap pasangan dapat mempertahankan keharmonisan rumah tangganya, bahkan banyak yang berakhir dengan perceraian. Alasan perceraian "sudah tidak ada kecocokan" sebenarnya berarti sudah hilangnya keharmonisan dalam rumah tangganya.

Banyak faktor yang mempengaruhi hilangnya keharmonisan diantara keduanya. Diantara faktor yang paling penting yaitu komunikasi. Jika komunikasi mengalami hambatan bisa mempengaruhi hubungan suami istri.

Suami istri perlu membiasakan suasana komunikasi yang akrab dalam keseharian bahkan dalam menentukan berbagai keputusan penting dalam rumah tangga. Suami dan istri harus saling menghargai pendapat masing-masing. Tak sepantasnya suami mendoktrin istri, atau bahkan meremehkan pendapatnya. Demikian juga sang istri sebaiknya tidak mendominasi pembicaraan. Suasana dialogis perlu dikembangkan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.

Rasulullah adalah teladan baik sebagai seorang suami dalam menjalin komunikasi dengan keluarganya. Beliau tak segan mendengarkan pembicaraan istri tanpa memotong, menyela bahkan menghentikannya. Sebagai contoh, suatu malam Aisyah menuturkan kisah yang amat panjang tentang sebelas orang wanita di zaman jahiliyah yang menceritakan suami-suami mereka.

Diceritakannya satu persatu cerita dari para wanita itu dari mulai satu hingga ke sebelas. Selama Aisyah bercerita Rasululah menyimaknya dengan baik. Aisyah merasa bebas bercerita kepada Rasul Allah SAW tanpa khawatir dipotong dan diacuhkan oleh beliau. Bahkan Rasulullah terlihat betah mendengar cerita Aisyah yang panjang lebar itu. Setelah selesai barulah beliau memberi komentar secukupnya. Dari kisah itu kita bisa melihat suasana komunikasi dalam keluarga yang baik dan lancar.

Rasulullah adalah juga sosok suami yang sangat memperhatikan kebutuhan batiniah istrinya. Rasulullah senantiasa mengupayakan suasana yang menyenangkan dan selalu ingin menghibur perasaan istrinya. Aisyah yang terpaut usia sangat jauh tidak dipaksa melulu untukmengikuti pola dan irama hidup Rasulullah sebagai pemimpin umat. Ada saat-saat di mana Rasulullah mengkondisikan suatu suasana dan situasi demi menyenangkan perasaan Aisyah. Nabi mengundang beberapa anak gadis Anshar untuk bermain-main dengan Aisyah. Dibiarkannya Aisyah bemain memuaskan hatinya. Hubungan harmonis Rasulullah dengan Aisyah pun terlihat dari sikap masing-masing terhadap pasangannya.

Aisyah pernah menyaksikan orang-orang Habsyah yang sedang bermain pedang di mesjid sebagai bentuk latihan menghadapi peperangan. Sambil menonton Aisyah bersandar di pundak beliau. Selama itu beliau tidak beranjak sampai Aisyah sendiri yang menginginkan pergi. Demikian juga Rasulullah kerap menyandarkan kepala di pangkuan Aisyah sambil membaca Al Quran.

Rasulullah bahkan pernah berlomba lari dengan Aisyah. "Rasulullah berlomba denganku hingga aku dapat mendahuluinya, sampai ketika saya menjadi gemuk beliau berlomba dengan aku dan beliau mendahului aku. Lalu beliau tertawa dan berkata, "Kali ini untuk menebus yang dulu" (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Untuk menciptakan suasana harmonis Rasulullah gemar bercanda dengan istrinya. Meskipun beliau banyak mengalami kesedihan, beliau suka bergurau. Beliau menyertai istrinya dalam tertawa. Pada suatu kali, saat membuat roti, dua orang istri Nabi yaitu Aisyah dan Saudah bercanda saling melumurkan adonan tepung ke wajah, dan Rasul turut serta bergembira bersamanya (HR. Bukhari).

Rasulullah pun menganjurkan bergurau pada sahabatnya. Rasulullah pernah berkata kepada Hanzhalah ketika. Hanzhalah merasa sedih melihat perubahan sikapnya (keadaannya) sendiri yang berbeda ketika berada di rumah dan ketika bersama Rasulullah saw, sehingga ia menganggap dirinya munafik.

Maka Rasulullah bersabda, "Wahai Hanzhalah kalau kamu terus menerus dalam keadaan seperti ketika kamu bersamaku, niscaya kamu akan disalami oleh malaikat di jalan-jalanmu. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, berguraulah sekedarnya."

Canda dan gurauan memang diperlukan dalam menjalin komunikasi yang akrab khususnya antara suami dan istri. Suasana tegang dan hubungan yang kaku dan hambar dapat dicairkan dengan gurau dan canda.

Menurut beberapa penelitian humor atau canda dapat menghindari stress dan timbulnya serangan jantung. Senyum dan tawa akan mengedurkan tegangnya urat syaraf. Persoalan rumah tangga yang kadang pelik dan rumit harus dihadapi dengan rileks. Pernikahan bukan sekadar kontrak sosial dimana suami istri terikat dengan peraturan dan hubungan kaku. Sebaiknya dibangun suatu relasi dan situasi yang yang nyaman dan menyenangkan di mana setiap pasangan dapat menikmati hari-harinya.

Dalam saling menasihati antara suami istri, canda dan humor juga sangat dibutuhkan. Menurut Abdullah Nashih Ulwan nasihat yang disertai humor dapat menggerakkan rasio, menghilangkan jemu dan menimbulkan daya tarik. Nasihat yang menggurui dan kritik yang tajam akan sangat berlainan dampaknya dibanding dengan nasihat dan kritik yang disampaikan dengan canda. Canda akan mengurangi resiko munculnya perasaan tersinggung. Canda memang dapat menciptakan suasana komunikasi yang kondusif dalam rumah tangga sehingga ikatan pernikahan senantiasa harmonis. Namun perlu diingat bahwa canda harus betul-betul diniatkan untuk menyenangkan perasaan pasangan, bukan untuk menyinggung perasaannya. Insisiatif meyenangkan hati pasangan ini jangan hanya muncul dari salah satu fihak, melainkan harus dari keduanya.

Istri maupun suami pun harus menghargai upaya pasangannya dalam menyenangkan hatinya sehingga ia akan merasa terpacu dan terpanggil untuk selalu menyenangkan hati pasangannya.

"Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana badan pun bisa bosan (letih), karena itu carikanlah untuknya hiburan yang mengandung hikmah." (Ali karamallahhu wajhah).

Wallahu a'lam.

Jumat, 15 Juli 2011

Nishfu Sya’ban dan Sadranan

Oleh Hartono Ahmad Jaiz
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, marilah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berkenan memberikan berbagai keni’matan bahkan hidayah kepada kita.
Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Kita hadir di masjid untuk shalat Jum’at ini tentunya ada semangat kebaikan dalam jiwa kita. Semangat mengerjakan kebaikan atau ibadah adalah merupakan anugerah Allah. Seandainya tanpa dianugerahi semangat, maka tentunya tidak ada semangat untuk kebaikan itu. Sehingga kalimat « لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ » dalam hadits Bukhari dan Muslim dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kanzul jannah (simpanan surga). Karena maknanya adalah kepasrahan dan penyerahan diri kepada Allah, bahwa tidak ada daya untuk menolak keburukan dan tidak ada kekuatan untuk mencapai kebaikan kecuali karena Allah.
Setelah kita mengakui bahwa adanya semangat untuk melakukan kebaikan itu benar-benar dari Allah Ta’ala, maka kita pun wajib mensyukurinya. Di antara menysukurinya adalah menggunakan semangat kebaikan itu sesuai dengan ukuran yang datangnya dari Allah Ta’ala yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga akan tepat penggunaan semangat itu sesuai dengan aturan Allah Taala dan Rasul-Nya. Bila tidak, maka yang terjadi adalah semangat kebaikan itu menghasilkan perbuatan yang kurang pas. Boleh jadi kurang afdhol, tidak utama, dan sebaliknya boleh jadi justru menyimpang, namun dianggap baik oleh pelakunya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah. Dalam hadits
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَهْوَ رَاكِعٌ ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ « زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ »
Dari Abu Bakrah bahwa dia (masuk masjid) hingga sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang beliau lagi ruku’ maka dia (Abu Bakrah) ruku’ sebelum sampai ke shaf, maka dia (setelah shalat) menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: Semoga Allah menambahimu semangat (untuk kebaikan) dan jangan kamu ulangi. (HR Al-Bukhari).
At-Thahawi berkata, sabdanya, walaa ta’ud (jangan kamu ulangi) bagi kami mengandung dua makna. Jangan kamu ulangi untuk ruku’ di belakang shaf sehingga kamu berdiri dalam shaf. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila salah seorang kalian mendatangi shalat maka janganlah ia ruku’ sebelum sampai di shaf sehingga ia menempati shaf. Dan mengandung makna, jangan kamu ulangi untuk jalan cepat-cepat ke shaf dengan jalan cepat yang kamu didorong oleh nafsu di dalamnya. Sebagimana hadits yang datang dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari Rasulullah, beliau bersabda: Apabila didirikan shalat maka kalian jangan mendatanginya sedangkan kalian berjalan cepat-cepat dan datangilah shalat itu sedang kalian berjalan (biasa saja). Dan hendaklah kamu tenang, maka apa yang kalian jumpai maka shalatlah, dan apa yang luput dari kalian maka sempurnakanlah. (“Umdatul Qari Syarah Shahih Al-Bukhari juz 9 halaman 240).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Ternyata, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Abu Bakrah yang telah bersemangat untuk kebaikan itu masih didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Allah tambahi semangat (untuk kebaikan), dan sekaligus dinasihati, agar tidak mengulangi. Yang maknanya adalah sesuatu yang kurang afdhal (walau) sah pun jangan diulangi, apalagi kalau itu berupa penyimpangan atau pelanggaran yang besar. Dari sinilah perlunya kita sadari, semangat saja, walau semangat itu tinggi dalam hal kebaikan, tidak cukup. Masih perlu diterapkan pada aturan yang sesuai dan tepat.
Perlu diketahui, dalam hal ibadah itu sifatnya adalah tauqifi, yakni berhenti di atas dalil (ayat dan hadits yang sah). Tidak bisa kita sebagai muslim yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini melakukan ibadah yang tidak ada dalilnya yang sah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan:
« مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ » .
Siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan atas perintah kami maka dia tertolak. (HR Al-Bukhari dan Muslim) .
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Dengan adanya aturan yang seperti itu, maka semestinya kita berhati-hati dalam beramal. Yakni perlu dilandasi ilmu, yaitu ada atau tidakkah dalilnya yang sah. Walau tidak hafal bunyi lafal dalilnya, yang terpenting sudah mengerti bahwa amal kita itu ada dalilnya yang sah.
Setelah kita tahu bahwa yang akan kita amalkan itu ada dalilnya yang sah, maka masih perlu pula mengetahui, benar atau tidak pemahamannya terhadap dalil itu. Walau tidak dituntut hafal lafal tentang pemahaman yang benar mengenai dalil itu. Karena tanpa benar pemahamannya, boleh jadi akan jauh dari kebenaran, dan masih atas nama dalil yang sah itu.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Di sinilah pentingnya kita Ummat Islam ini menuntut ilmu terutama mengenai kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang menyangkut kehidupan kita di dunia ini. Tanpa menuntut ilmu, dan hanya mengikuti orang banyak, maka telah diancam oleh Allah Ta’ala:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ [الأنعام/116]
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS Al-An’am: 116).
Lebih dari itu, kalau tidak mau mendengarkan apa-apa yang dibawa oleh rasul maka penyesalan sangat dahsyat di akherat:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10) فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ [الملك/6-11]
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala."
Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS Al-Mulk/ 67:10-11).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Apa yang dilakukan oleh banyak orang, dan tampaknya islami, bahkan sering dihiasi dalil, dapat kita temui. Misalnya amaliah dikaitkan dengan apa yang mereka sebut nishfu sya’ban atau pertengahan bulan sya’ban. Demikian pula adanya gejala ramai-ramai ke kuburan di mana-mana di bulan Sya’ban atau menjelang Puasa Ramadhan. Ziarah kubur tiba-tiba banyak dilakukan orang menjelang ramadhan, di Jawa disebut sadranan atau nyadran.
Ziarah kubur itu sendiri adalah sunnah, bila sesuai dengan tata aturan syari’at Islam. Di antaranya tidak menentukan waktu-waktu tertentu diulang pada waktu tertentu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
...وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا. (رواه أَبُو داود بإسنادٍ صحيح) .
“… dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai 'id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada waktu dan saat tertentu)…." (HR Abu Dawud – 1746 dengan sanad shahih).
Kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak boleh dijadikan sebagai 'id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada waktu dan saat tertentu), maka mestinya kubur siapapun tidak boleh juga. Kalau sekadar diziarahi dan sesuai syari’at Islam, tentu tidak apa-apa. Bahkan bila benar-benar sesuai dengan syari’at Islam pelaksanaan ziarah kuburnya, justru sunnah dan mengandung hikmah di antaranya untuk mengingat akherat. Namun ketika kebanyakan orang berziarah kubur itu setiap menjelang Puasa Ramadhan, maka perlu dilihat lagi hadits tersebut. Dan tampaknya apa yang dilakukan ramai-ramai banyak orang itu tidak cocok.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, ketika dicocokkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cocok, maka perlu dicari sebenarnya dari mana asalnya kebiasaan tiap tahun itu, dan dianggapnya dari Islam itu?
Doktor filsafat lulusan Universitas Gadjah Mada yang kini menjadi pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta, Purwadi, mengatakan, tradisi ziarah makam sudah sangat mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Ziarah ke makam wali, kata Purwadi, merupakan kepanjangan dari tradisi hinduisme bernama upacara srada. Tradisi ini sudah ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja yang memerintah Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14.
Srada adalah upacara untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada itulah, masyarakat Jawa mengenal nyadran, yaitu kegiatan menziarahi makam leluhur. Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Jadi, ziarah makam ini adalah bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam. (kompas cetak, Selasa, 18 Agustus 2009 | 12:00 WIB, dikutip Hartono Ahmad Jaiz dalam buku Kuburan-kuburan Keramat di Nusantara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2011, halaman 280-281).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Dari segi lafalnya, ziarah kubur adalah dari Islam. Sedang sadranan atau nyadran dari lafal sadra yang maksudnya upacara Hindu untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal, berasal dari upacara Agama Hindu setiap menjelang puasa. Itu satu sisi.
Dari sisi tidak bolehnya kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan ‘ied, tempat yang dikunjungi dengan acara tertentu dan secara berulang pada waktu tertentu, mestinya Ummat Islam lebih mentaati Nabinya daripada ibadahnya orang kafir musyrik lalu dibungkus seolah islami. Kenapa demikian? Karena Allah Ta’ala telah menegaskan:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al-Ahzab/ 33: 36).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Ketegasan Allah Ta’ala sedemikian jelas. Sehingga kita tidak dibolehkan ada pilihan lain-lain lagi di luar keputusan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hal pelaksanaan dalil pun kita merujuk pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya. Sehingga dalam apa yang disebut acara-acara nishfu sya’ban perlu merujukkan pula pemahaman dalil yang dipakai orang sekarang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Kenapa mereka menganggap lailah Nishfi Sya’ban (malam Nishfu Sya’ban) sesuatu yang istimewa adalah karena salah pemahaman dari ayat pertama surat Ad Dukhan. Juga karena berpegang pada hadits palsu.
Adapun ayat surat Ad-Dukhan
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ(3)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ(4)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ(5)رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ(6)
Artinya : Sesungguhnya kami menurukan pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami dalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Ad Dukhan : 3-6)
Mereka beranggapan bahwa Lailah Mubarakah (malam yang penuh berkah) itu adalah malam Nishfu sya’ban, sehingga mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Dan anggapan seperti itu sangat salah sekali, bertentangan dengan konteks ayat dan juga bertentangan dengan ayat-ayat lain. Yang benar menurut konteks ayat dan sesuai dengan ayat-ayat lain adalah bahwa Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadar di bulan Ramadhan.
Ayat-ayat itu adalah salah satu dari tiga ayat yang berbicara tentang turunnya Al-Qur’an juga tentang waktunya. Adapun ayat yang kedua adalah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1)
Artinya : Sesungguhnya kami menurunkan Al Qur’an dimalam (Lailatul qodar) (Surat Al Qadr : 1)
Dan ayat ketiga menjelaskan bahwa itu di bulan Ramadhan :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ
Artinya : (Adalah) bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an (Al Baqarah : 185)
Jadi Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadr yang ada di bulan Ramadhanو malam itu disebut malam yang penuh berkah (Lailah Mubarakah) sebagaimana kitab suci Al Qur’an dinamai atau disifati Kitab yang diberkahi (Mubarak).
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ
Artinya: Dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab yang telah kami turunkan yang di berkahi (Al-An’am: 92)
Jadi bukan pada tempatnya menjadikan ayat itu sebagai dalil untuk mengkhususkan malam Nifsu Sya’ban dengan ibadah tertentu.
Ibnu Katsir berkata: Dan orang yang mengatakan bahwa itu adalah malam Nifsu Sya’ban sungguh telah terlalu jauh (menyimpang dari kebenaran)( Tafsir Ibnu Katsir 4/167)
Dan Adapun Hadits yang mereka jadikan dalil adalah:
إِذَاكَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا……..
Jika ada malam nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban) maka sholatlah pada malamnya dan berpuasalah siangnya…
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu) diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abdur Razzaq dari Abu Bakar Ibnu Abdillah Ibnu Abi Sabrah. Ibnu Main dan Imam Ahmad mengatakan: Dia (Abu Bakar) suka membuat ‘Hadits Palsu. An Na’sai mengatakan dia itu ‘Matruk’. (lihat ta’liq Al-Itisham oleh Rasyid Ridha 1/39)
Jadi jelas sekali apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin di malam Nishfu Sya’ban adalah Bid’ah Munkarah (sesuatu yang diada-adakan secara baru lagi buruk) yang tak punya dasar.
Imam Asy Syathiby Al Andalusiy mengatakan, “Dan diantara hal yang bid’ah adalah rutin melakukan ibadah tertentu di waktu tertentu yang tidak pernah ada penentuan (waktu atau macam)nya dari syari’ah seperti (mengkhususkan) puasa di pertengahan bulan Sya’ban dan beribadah di malamnya. (Al ‘Itisham 1/39)
Syaikh Mahmud Syaltut, mengatakan : Adapun khusus malam Nishfu Sya’ban dan kumpul-kumpul untuk menghidupkannya dan mengadakan shalat khusus di malam itu serta berdo’a dengan do’a (khusus), semuanya tidak . Dan tak pernah dikatakan (danrbersumber sedikitpun dari Nabi  dikenal) oleh seorangpun di masa-masa awal (Islam) (Al Fatawa 191)
 adalah banyak berpuasa di bulan Sya’banrYang ada dari Rasulullah  itu untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadhan tanpa membedakan hari-hari tertentu. (Disusun oleh Ustadz Abu Sulaiman, Imam Masjid di sebuah Yayasan di Jakarta tahun 1420H).
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah dijelaskan:
وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لِإِحْيَائِهَا , وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً , وَقَالَ الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلَاةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ .
Al-Ghazali menjelaskan dalam Kitab Al-Ihya’ (Ihya’ ‘Ulumid Dien) cara khusus untuk menghidupkan (nishfu Sya’ban). Tetapi sungguh As-Syafi’iyah (para pengikut madzhab Imam As-Syafi’i) mengingkari tatacara itu, dan mereka menyatakannya sebagai bid’ah qobihah (yang buruk). Dan Ats-Tsauri berkata, sholat (nishfu Sya’ban) ini adalah bid’ah maudhu’ah qobihah munkaroh (bid’ah bikinan yang buruk lagi munkar). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Wazarotul Auqof Was-syu’unil Islamiyyah Kuwait, 34 juz, juz 2, halaman 235-236, dikutip Hartono Ahmad Jaiz dalam buku Islam dan Al-Qur’an Pun Diserang, Pustaka Nahi Munkar, Jakarta- Surabaya, 1430H/ 2009).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Demikianlah pentingnya Ummat Islam ini mengetahui duduk soal apa-apa yang dikerjakan atas nama ibadah. Para ulama sudah menunjuki hal-hal yang perlu dihindarkan walau dilakukan banyak orang. Petunjuknya itu dilandasi pula dengan merujuk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila para ulama yang shalih telah menunjuki sesuai yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang kita lebih memilih untuk mengikuti banyak orang, itu dari berbagai segi dan dalil-dalil di atas ternyata sikap kita ini keliru. Setelah ternyata keliru, lantas bagaimana?
Perlu kita sadari bahwa Ummat Islam ini tetap diberi jalan baik apabila mengakui kekeliruannya, meninggalkannya, dan bertaubat. Dalam hadits dijelaskan,

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ } أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ ، وَسَنَدُهُ قَوِيٌّ
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Setiap bani Adam (manusia) itu banyak salah, dan sebaik-baik orang yang banyak salah adalah orang-orang yang banyak bertaubat. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, sanadnya kuat menurut Kitab Subulus Salam).
Semoga kita termasuk orang-orang yang mau mengakui ketika bersalah atau keliru, dan termasuk hamba-hamba Allah yang banyak bertaubat atas kesalahan-kesalahan. Dan semoga dijauhkan dari sikap yang sombong, yakni tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan manusia. Amien ya Rabbal ‘alamien.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ .
Khutbah Kedua:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ.
أَمَّا بَعْدُ؛ وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَ يَسْمَعُونَ
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . وَصَلى الله وسَلم عَلَى مُحَمد تسليمًا كَثيْرًا . وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Kamis, 30 Juni 2011

ESQ POWER

TIDAK semua mereka yang memiliki titel kesarjanaan tinggi memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Istilah kecerdasan emosional adakalanya disebut EI (emotional intelligence), EQ (emotional quotient), dan kecerdasan sosial.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan.

Lalu, apa kunci keberhasilan hidup?

Lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu aspek-aspek yang berkait dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya ada empat unsur pokok. Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi dirinya. Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Ketiga, senang bahkan mendorong melihat anak buah sukses, tanpa dirinya merasa terancam. Keempat, asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung.

Untuk mengukur apakah seorang memiliki kecerdasan emosional tinggi, jangan diukur dengan titel kesarjanaan dan kepangkatannya, tetapi tanyakan pembantu rumah tangga, anak buah, keluarga, maupun teman. Dari merekalah akan terpantul citra kepribadian seorang , terutama di saat-saat seseorang terkondisikan untuk marah.

Seberapa tinggi EQ seseorang mudah terlihat saat kritis, ketika suasananya tidak menguntungkan, bahkan dalam posisi terancam. Dengan tolok ukur ini kita mendapat kesan banyak EQ-nya rendah meski titel akademisnya tinggi, termasuk dalam penguasaan ilmu agama. Cirinya, pertama, jika bicara cenderung menyakiti dan menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok tergeser oleh pertengkaran ego pribadi. Yang terjadi kemudian persoalan tidak selesai, bahkan bertambah..

Banyak mahasiswa dan sarjana terkesan idealis saat di kampus, tetapi terhanyut begitu menjadi birokrat. Rasanya perlu dipikirkan adanya pekan orientasi sarjana sebelum wisuda. Isinya, memberi peringatan disertai data akurat bahwa setelah wisuda mereka akan memasuki dunia baru yang penuh ranjau dan lingkungan kerja serta sosial yang telah terkontaminasi virus korupsi dan manipulasi. Ini merupakan tugas akhir almamater, memberi peringatan dan tanggung jawab moral pada putra-putrinya agar memiliki komitmen untuk hidup terhormat, mengejar karier dengan panduan skill dan suara hati.

PARA psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan, yaitu intelektual, emosional, dan spiritual.

EQ yang tinggi akan membantu seseorang dalam membangun relasi sosial dalam lingkungan keluarga, kantor, bisnis, maupun sosial. Bagi seorang manajer, kecerdasan emosional merupakan syarat mutlak. Lagi-lagi amat disayangkan, pendidikan kita miskin konsep dalam membantu mengembangkan EQ, bagi siswa maupun mahasiswa. Pelatihan EQ ini amat penting guna menumbuhkan iklim dialogis, demokratis, dan partisipatif karena semua menuntut adanya kedewasaan emosional dalam memahami dan menerima perbedaan. Pluralitas etnis, agama, dan budaya akan menjadi sumber konflik laten jika tidak disertai tumbuhnya budaya dialogis dan sikap empati.

Tidak kalah penting, kecerdasan spiritual (SQ) yang berkait dengan masalah makna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusi intelektual-teknikal, EQ meratakan jalan membangun relasi sosial, SQ mempertanyakan apakah makna, tujuan, dan filsafat hidup seseorang.

Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, penulis buku SQ, The Ultimate Intelligence, tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (IQ) dan popularitas (EQ) seseorang tidak akan memberi ketenangan dan kebahagiaan hidup.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, berbagai pakar psikologi dan manajemen di Barat mulai menyadari betapa vitalnya aspek spiritualitas dalam karier seseorang, meski dalam menyampaikannya terkesan hati-hati. Yang fenomenal, tak kurang dari Stephen R Covey meluncurkan buku The 8th Habit (2004), padahal selama ini dia sudah menjadi ikon dari teori manajemen kelas dunia The Seven Habits. Rupanya Covey sampai pada kesimpulan, kecerdasan intelektualitas dan emosionalitas tanpa bersumber spiritualitas akan kehabisan energi dan berbelok arah.

Krisis kepercayaan terhadap intelektualitas kian menguat saat bangsa yang secara ekonomi amat kaya ini dikenal sebagai sarang koruptor dan miskin, padahal hampir semua yang menjadi menteri maupun birokrat memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Asumsi bahwa kesarjanaan dan intelektualitas akan mengantar masyarakat yang damai dan bermoral digugat Donald B Caine dalam buku: Batas Nalar, Rasionalitas dan Perilaku Manusia yang sedang dibicarakan banyak orang. Mengapa bangsa Jerman yang dikenal paling maju pendidikannya dan melahirkan banyak pemikir kelas dunia pernah dan bisa berbuat amat kejam? Pertanyaan serupa bisa dialamatkan kepada Inggris, Amerika Serikat, dan Israel

Satu hal pasti, kita mengharapkan negeri ini diurus oleh mereka yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Yaitu mereka yang kualitas akademisnya baik, mampu berkomunikasi sosial secara simpatik, inspiring dan motivating, serta memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai spiritual sebagai panduan hidup. Jika ketiga kualitas ini tidak terpenuhi, sebaiknya minggir saja atau bangsa ini akan kian hancur oleh perilaku pemimpinnya sendiri.